Basmalah

BLOG IHSAN HALIK

Cari :

Kami ucapkan

Rabu, 30 Maret 2011

MAFIA PERADILAN ...ATAU SIAPA YANG JADI MAFIA ?...

Oleh: Drs. IHSAN HALIK, S.H.
Komisi Yudisial dan lembaga-lembaga lain yang memantau peradilan seperti Ombusment, IcW dan lain-lainnya selalu menyoroti  dan menganggap bahwa proses penyelesaian perkara di pengadilan sangat rentan dengan KKN, suap alias jual beli perkara atau istilah populernya mafia peradilan atau makelar perkara/kasus. Sorotan-sorotan seperti ini bukan tidak mungkin terjadi atau tanpa dasar, sebab praktek-praktek suap memang kadang terjadi dilakukan oleh pengacara, polisi, jaksa, jurusita, panitera sampai hakim. Jadi praktek kotor atau mafia kasus yang terjadi bukan hanya di lembaga peradilan yang melibatkan jurusita, panitera dan hakim tetapi juga terjadi pada lembaga kepegacaraan, lembaga kepolisian dan lembaga kejaksaan, sehingga sangat tidak adil istilah popular saat ini, jika semua praktek kotor tersebut hanya disebut mafia peradilan karena mafia bukan hanya di pengadilan, sehingga yang tepat adalah, jika praktek suap terjadi pada pengacara disebut mafia pengacara, jika paktek suap dilakukan oleh polisi maka disebut mafia kepolisian, jika praktek suap dilakukan oleh jaksa maka disebut mafia kejaksaan dan jika praktek suap terjadi di pengadilan yang dilakukan oleh jurusita, panitera atau hakim maka disebut mafia peradilan.
Penyelesaian perkara di pengadilan bukan hanya melibatkan hakim, tetapi melibatkan seluruh perangkat pengadilan, mulai dari staf atau pejabat kepaniteraan yang bertugas di meja-meja penerimaan perkara untuk penyelesaian administrasi perkara, kemudian petugas jurusita yang bertugas melakukan pemanggilan pihak-pihak yang berperkara atau melaksanakan penyitaan dan atau melaksanakan eksekusi dan hakim yang memeriksa dan memutus perkara. Sehingga jalannya proses perkara dimulai dari penyelesaian administrasi perkara yaitu membayar panjar biaya perkara, pendaftaran nomor perkara, penetapan majelis hakim dan panitera sidang, pemanggilan para pihak yang berperkara yang dilakukan oleh jurusita dan selanjutnya proses jalannya persidangan sampai putusnya perkara tersebut.     
Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara yang membawahi empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer tidak henti-hentinya mengadakan upaya-upaya perbaikan agar lembaga-lembaga peradilan di Indonesia dapat pilar penegakan supremasi hukum. Upaya untuk menciptakan perbaikan adalah pembinaan moral para aparat pengadilan dengan memberikan batas-batas atau pedoman sebagai standar dalam melakukan kegiatan kedinasan dan non kedinasan yang salah satunya tertuang dalam “Pedoman Prilaku Hakim”.
Pedoman prilaku hakim bukan hanya diperuntukkan bagi hakim saja tetapi juga diperuntukkan kepada seluruh aparat pengadilan. Terutama aparat pengadilan yang secara langsung tugas-tugasnya berhubungan dengan masyarakat pencari keadilan seperti jurusita, panitera dan hakim. Jurusita adalah aparat peradilan yang diberi tugas untuk melaksanakan tugas-tugas kejurusitaan seperti memanggil para pihak berperkara untuk menghadiri persidangan, melaksanakan perintah penyitaan, melaksanakan perintah eksekusi dan lain-lain. oleh karena itu jurusita dalam menjalankan tugas-tugasnya secara langsung berhadapan dengan masyarakat, sehingga tidak jaran masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok menganggap jurusita itu sebagai hakim atau jaksa, sehingga masyarakat masyarakat berusaha untuk melakukan pendekatan dengan jurusita tersebut agar perkaranya dapat berjalan lancar, sehingga tidak jaran jurusita mendapatkan godaan-godaan dan materi dari para pencari keadilan tersebut.
Panitera atau panitera pengganti yang memegang suatu perkara mempunyai peranan  dalam penyelesaian suatu perkara. Mengapa tidak, panitera dalam tugas-tugas kepaniteraannya dapat secara langsung berkomunikasi dengan para pencari keadilan, karena para pihak yang berperkara senangtiasa ingin mengetahui perkembangan perkaranya sehingga ia akan mencari informasi kepada panitera, hal tersebut memberi peluang kepada pencari keadilan untuk menjadikan panitera sebagai sarana penghubung kepada hakim yang menangani perkaranya. Tidak sedikit para pihak menggunakan praktek-praktek kotor untuk mempengaruhi panitera agar merekayasa berita acara persidangan sesuai kehendak para pihak atau tidak mencatat peristiwa-peristiwa penting yang dapat menjadi fakta hukum suatu perkara sehingga dapat mempegaruhi putusan hakim. Demikian pula halnya sebaliknya terjadi, seorang panitera atau panitera pengganti yang nakal dapat memanfaatkan jabatannya untuk kelakukan praktek-praktek kotor dengan menawarkan janji-janji atau harapan kepada para pencari keadilan, agar dapat memperoleh imbalan atau hadiah, sehingga untuk mencegah adanya praktek-praktek kotor antara para pencari keadilan dengan panitera/panitera pengganti, maka hubungan komunikasi antara panitera dengan para pihak harus dibatasi.
Di samping jurusita dan panitera atau panitera pengganti, maka yang sangat besar peranannya dalam menentukan posisi suatu perkara adalah hakim.
Hakim adalah pejabat pengadilan yang melaksanakan tugas-tugas kehakiman secara mandiri dan bebas dari pengaruh dari kekuasaan lain. Sehingga hakim dalam mengambil putusan tidak dapat dipengaruhi oleh atasannya dan serta tidak dapat dipengaruhi oleh pihak penguasa atau pemerintah. Oleh karenanya putusan-putusan hakim tidak dapat digugat melainkan hanya dapat dilakukan upaya-upaya hukum ketingkat yang lebih tinggi, kecuali  ada indikasi terjadinya praktek-praktek kotor dalam pengambilan putusan.
Hakim dalam menjalankan tugas-tugasnya dalam menagani perkara tidak sedikit godaan yang menimpahnya sehingga godaan-godaan tersebut dapat mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu putusan. Oleh karena itu Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial dan lembaga-lembaga pemerhati telah berupaya untuk membuat standar yang menjadi pedoman prilaku hakim baik dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Pedoman prilaku hakim bukan hanya ditujukan kepada hakim, tetapi juga ditujukan kepada semua aparat pengadilan yang secara langsung atau tidak langsung menangani suatu perkara, hal tersebut dimaksudkan untuk memberi citra kepada lembaga peradilan sebagai pilar penegak hukum yang memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Pedoman prilaku hakim adalah merupakan kode etik yang bertujuan untuk menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan hakim dalam menjalankan tugas-tugasnya. Demikian pula undang-undang, telah memberi aturan untuk pencegahan kepada hakim melakukan penyimpangan-penyimpangan seperti larangan untuk menjadi penasihat hukum, larangan untuk menjadi pengusaha, sehingga hakim hanya berkonsentrasi pada tugasnya sebagai penegak hukum.   
Oleh karena kedudukan dan peranan hakim sangat besar dalam menjaga ketertiban hukum dalam masyarakat, maka oleh Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang peradilan umum, Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang peradilan agama dan 51 Tahun 2009 tentang peradilan tata usaha negara, telah mengakui dan memberikan kehormatan kepada hakim sebagai pejabat negara. Pejabat negara pada suatu negara diberi gaji dan fasilitas yang cukup memadai dalam menjalankan tugas-tugasnya. Pejabat negara di Indonesia seperti DPR, Gubernur, Walikota dan Bupati telah diberikan fasilitas yang cukup oleh negara seperti kendaraan dinas, perumahan dinas, tunjangan kesehatan dan berbagai tunjangan lainnya. Tetapi tidak demikian dengan hakim yang diakui oleh undang-undang sebagai pejabat negara, tidak mendapatkan fasilitas seperti pejabat negara lainnya. hakim tidak mendapatkan penghasilan dari biaya/ongkos perkara dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali gajinya semata dan undang-undang melarangnya untuk menjadi pengusaha sehingga banyak hakim yang kehidupannya sangat sederhana, berjalan kaki atau naik ojek ke kantor, tinggal di rumah-rumah kontrakan, punya angsuran di bank alias banyak utang. lantas Apa kata Dunia ???


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Al-Quran